Semasa saya bersekolah di Sekolah Dasar, saya memiliki seorang teman yang bisa dikategorikan sebagai sahabat. Dia adalah salah satu orang terbaik yang pernah saya kenal semasa saya bersekolah di SD. Dia adalah seorang laki-laki. Pada masa itu, saya sedang ogah memiliki seorang perempuan sebagai teman dekat, karena saya pernah memiliki pengalaman buruk saat bertaman dengan teman perempuan saya itu. Pertama kali kami berkenalan adalah pada saat kelas 3 akhir. Memang, pada akhirnya kami tidak pernah sekelas sampai tamat SD. Pada masa itu terjadi banyak pergolakan di sekolah saya, makanya kami, anak kelas 3 yang hanya terdiri dari 2 kelas saja banyak berdiskusi antara satu dengan yang lainnya. Saya memang memiliki banyak teman yang sudah saya kenal dari sejak lama di kelas sebelah, namun pertama kali saya melihat sahabat saya ini, saya merasa kasihan kepadanya. Beliau ini tidak terlalu tinggi, berkulit putih, dan bertubuh sangat kurus sekali, seperti jarang sekali makan, namun kami memiliki beberapa persamaan sifat. Setelah kami mengobrol beberapa saat ternyata dia ini sangat baik sekali.
Saya baru dekat dengannya pada saat kelas 4. Pada masa itu, saya bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan Tuhan. Bayangkan saja, pada saat itu saya di daftarkan untuk mengikuti taman mengaji di sekolah saya, namun saya malah memilih untuk bermain bola di lapangan dibelakang sekolah pada saat suasana siang bolong.
Sahabat saya ini orangnya sangat alim sekali. Pada saat itu, saya adalah orang yang sangat malas sekali beribadah. Saat waktu istirahat tiba, dia selalu pergi ke musholla untuk mengambil air wudhu dan menunaikan sholat Dhuha. Kebetulan, dia ini berada di satu perguruan mengaji yang sama dengan saya. Pada saat saya mengetahui hal tersebut, saya membatin dalam hati: "ini orang sholat melulu, kayak orang penyakitan aja" (spoiler alert: ternyata dia memang menderita penyakit yang sangat parah). Pada awalnya saya tidak peduli akan hal tersebut. Namun pada suatu hari, tepatnya pada saat kelas 5 menjelang kenaikan kelas, dia meminta saya untuk menemaninya pergi ke musholla untuk menunaikan ibadah sholat zhuhur. Pada awalnya saya enggan menemaninya (sudah tau lah alasannya apa). Namun, melihat tubuhnya yang sangat kurus itu membuat saya mengasihaninya dan setuju untuk menemaninya. Setelah kami menyelesaikan rangkaian sholat zhuhur berjamaah, sahabat saya ini tidak langsung berdiri untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain. Saya lalu menghampirinya, menanyakan hal demikian. Dengan muka yang pucat dan seperti orang yang hampir pingsan, ia lalu menyampaikan kepada saya bahwa ia belum makan dari pagi, namun ia sudah tidak ada tenaga untuk pergi ke kantin. Kebetulan pada saat itu saya juga berencana untuk ke kantin juga. Mengetahui hal itu, saya membantu mengantarkannya ke kantin yang letaknya agak jauh dari musholla dengan cara menyuruhnya untuk menaiki punggung saya. Lalu, saya mulai membopong tubuh kurus sahabat saya yang sudah seperti tulang yang dibalut kulit ini untuk pergi ke kantin. Pada saat itulah saya menyadari bahwa sahabat saya ini adalah orang yang rajin sekali ibadah, sesuatu yang sangat menyentuh hati saya. Bayangkan saja, dengan kondisi yang seperti itu, ia tetap rajin untuk pergi sholat zhuhur ke musholla. Di kantin, kami mengobrol panjang lebar. Ia menanyakan kenapa saya tidak pernah mengikuti kelas mengaji lagi. Ia lalu meyakinkan saya untuk kembali ikut kelas mengaji lagi.
Setelah saya tersadar akan hal demikian, saya bertekad untuk kembali ikut ke dalam perguruan mengaji saya. Kebetulan, pada hari yang sama adalah hari pelaksanaan TPA tersebut. Sahabat saya ini lalu minta ditemani untuk pergi ke kelas mengaji yang sama dengan saya. Setelah kejadian di hari itu, saya tidak pernah absen dalam mengikuti kelas mengaji.
Setelah beberapa saat, tepatnya saat mendekati hari penyelenggaraan Ujian Nasional, kejadian yang hampir mirip seperti sebelumnya terjadi lagi. Namun bedanya, ia tidak minta diantarkan ke kantin, melainkan ia ingin berbicara dengan saya. Ternyata selama ini ia menderita penyakit yang berhubungan dengan leukemia dan selama ini dia sedang menjalani terapi penyembuhan. Hal tersebut sudah membuat saya paham mengapa tubuhnya itu sangat kurus sekali dan selalu tidak kuat untuk berdiri jika telat makan. Setelah mengetahui hal tersebut, saya menawarkan untuk pergi ke kantin, dan ia menyetujui ajakan saya.
Sekitar beberapa bulan setelah pelaksanaan Ujian Nasional, saya yang pada saat itu sedang berkunjung ke SD saya untuk mengambil kelengkapan untuk mendaftar SMP memutuskan untuk beristirahat sebentar di musholla sekolah karena telat dijemput. Saya sempat tertidur sekitar 1 jam sebelum saya dibangunkan oleh sahabat saya ini. Kami sempat berbincang cukup lama. Setelah orang yang menjemput saya tiba dan saya hendak pergi, sahabat saya ini meminta maaf kepada saya jika selama ini dia memiliki kesalahan kepada saya dan menyampaikan kepada saya bahwa mungkin hidupnya tidak akan lama lagi. Saat saya menanyakan apa maksud perkataannya itu, ia bilang bahwa terapi yang ia jalani itu seperti tidak ada gunanya, karena penyakitnya itu sudah menyebar sangat parah. Saya memahami hal tersebut, tapi saya tidak mau kehilangan sahabat saya itu. Saya mencoba meyakinkannya agar tetap terus berjuang melawan penyakitnya itu, seperti ia meyakinkan saya untuk berjuang melawan keburukan yang ada di hati saya sehingga saat itu saya enggan untuk mengikuti kelas mengaji.
Sebelum berpisah, saya bersalaman dengannya. Ia lalu mengajak saya berpelukan, namun saya awalnya tidak mau karena takut akan mematahkan apa yang tersisa dari tubuhnya itu. Ia lalu bilang bahwa tidak perlu takut akan hal itu karena tulangnya pasti kuat menahan hal tersebut. Tak ada yang menyangka bahwa hari itu adalah pertemuan terakhir kami.
Setelah itu, kami melanjutkan pendidikan di SMP yang berbeda. Kami selalu menyempatkan waktu untuk bercakap-cakap, saling menanyakan keadaan masing-masing. Sahabat saya ini sempat menyampaikan bahwa terapinya sudah membuahkan hasil, penyakit yang dideritanya sudah mulai menghilang. Namun, setelah sekitar 7 bulan setelah tahun ajaran baru, sahabat saya ini tidak bisa dihubungi. Saya lalu menanyakan keadaannya kepada siapapun yang mengenal sahabat saya ini, termasuk teman SD saya yang satu SMP dengan sahabat saya ini, dan teman saya tersebut menyampaikan bahwa penyakit leukimianya kambuh lagi. Saya sempat melakukan video call melalui perantara temannya yang berkunjung, berhubung saya dilarang oleh keluarga saya untuk mengunjunginya disebabkan karena penyakit sahabat saya ini sudah sangat parah. Ia lalu menyampaikan hal yang persis sama seperti yang ia katakan saat kami terakhir kali bertemu, dan saya meyakinkannya untuk semangat seperti sebelumnya. Namun, takdir berkata lain. Belum sampai seminggu setelah video call tersebut, saya mendapati kabar bahwa sahabat saya ini sudah berpulang ke pangkuan Allah SWT. Saya lalu bertakziah ke rumahnya, namun tamu hanya boleh masuk sampai pintu pagar saja. Saya lalu mengikuti rangkaian acara pemakamannya. Orang yang telah berhasil mengubah jalan hidup saya, karena jika pada saat itu ia gagal meyakinkan saya untuk mengikuti kelas mengaji lagi, mungkin saya tidak akan mencapai hal yang sudah saya dapatkan saat ini.
Sahabat saya ini mungkin tinggal nama, namun jika saya menjadi lebih sukses dari sekarang ini, namanya akan menjadi yang saya selalu ingat karena ialah saya bisa memulai segalanya sampai di titik ini. Memang benar pepatah "jangan menilai sebuah buku dari kulitnya", karena sahabat saya yang tubuhnya sangat kurus dan nampak tidak berdaya untuk melakukan suatu hal, ternyata memiliki semangat yang sangat tinggi dan mampu menularkan semangat tersebut kepada saya. Seperti kata sebuah pepatah: "Seseorang boleh meninggalkan kita, namun ia tidak akan pernah terlupakan (Gone, but will never be forgotten)".
Komentar