Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi,
Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti
halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi.
Sejak masih remaja, ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau
ke Puiau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.
Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan ini
meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan 2
orang istri dan 13 orang anak.
Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere
School atau yang sering disingkat ELS). Ia pernah belajar di Stovia selama tiga
setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada
tahun 1917 ia pergi ke negeri Belanda
untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein
ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda
yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa
Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda. Oleh karena itu, begitu
keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs
(Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi
Stovia, menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang
diangkat sebagai kierk. Abdul Muis
merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tidak disukai oleh
pegawai Belanda lainnya. Hal itu membuat
Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dan
departemen itu setelah bekerja selama
Iebih kurang dua setengah tahun (1903-- 1905).
Sekeluarnya dari Department van Onderwzjs en Eredienst
sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan,
baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Bidang pekerjaan yang
pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 ia
juga diterima sebagai anggota dewan
redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita
politik di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit,
Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung.
Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan dengan
hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja
di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di
Bandung, sebagal korektor, Ddalam tempo tiga bulan, ia diangkat
menjadihoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa
Belandanya yang baik.
Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto,
Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya
sebagai utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie
Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan negeri Belanda, Abdul
Muis pindah bekerja ke harian
Neracakarena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond,
sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada
tahun 1918 Abdul Muis menjadi anggota
dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti
sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang
menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya
yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan
pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia
memimpin sebuah gerakan memprotes aturanlandrentestelsel (Undang-Undang
Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes
tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia
juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua
surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut
dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena
itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura.
Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak boleh
meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak
berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita
di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak
lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap
aktif di dunia politik. Pada tahun 1926
Serikat Islam imencalonkannya
(dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun
kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu
diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja
meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat
sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua,
pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun, pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali
dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia
pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat
setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang
dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama
A.M., ia menulis hanyak hal. Salah satu di antananya adalah roman
sejarahnya, Surapati. Sebelum
diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’
di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang produktif. Ia
menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan. Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul
Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Karya besarnya, Salah
Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada
saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan
kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhanmenampilkan
masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
Selama hidupnya, Abdul Muis telah menulis berbagai macam
karya sastra, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain,
Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
2.
Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis),
Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
3.
Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff,
1950
4.
Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
5.
Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
6.
Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
7.
Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
8.
Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
9.
Pertemuan Djodoh (Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
10.
Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
11.
Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
12.
Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh
(terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
13.
Don Kisot (terjemahan karya Cervantes, Spanyol)
14.
Pangeran Kornel (terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira,
Sunda)
15. Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.
(Postingan blog bertemakan "Membuat Biografi Tokoh Kesusasteraan" ini dibuat sebagai bagian dari penugasan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar dengan dosen pengampu Siti Ismayanti Rahmi pada hari Kamis, 14 Oktober 2021. Postingan blog ini dibuat oleh Ali Akbar Said (1IA14) dengan NPM 50421119)
Komentar